Collaborative Article:

“Understanding Transfer Pricing and Its Tax Implication in Indonesia: Is It Always A Dispute?”

Berkolaborasi dengan DDTC

Derasnya arus globalisasi tidak hanya berhasil menghubungkan dunia, tetapi juga memberikan kemudahan bagi perusahaan multinasional dalam menyebar tempat kedudukan bisnisnya. Perusahaan multinasional merupakan sekumpulan dua atau lebih entitas yang berdiri di bawah kendali (kontrol) satu payung grup usaha yang sama. Dua atau lebih perusahaan ini menapakkan unit usahanya secara terintegrasi di berbagai negara yang memiliki karakteristik unik untuk mencapai tujuan bersama, yaitu untuk memaksimalkan potensi laba.

Perusahaan multinasional kemudian saling berlomba membentuk suatu rantai nilai global (global value chain). Adanya sinergi grup memungkinkan perusahaan multinasional yang tergabung dalam grup usaha tersebut mendapatkan manfaat yang umumnya tidak dapat dinikmati oleh perusahaan independen dalam situasi serupa (OECD, 2022). Contohnya seperti gabungan daya beli, economies of scale, manajemen terpadu, atau peningkatan kapasitas pinjaman.

Dalam perspektif yang lebih luas, transfer pricing menjadi instrumen untuk mengelola pasar internal secara efisien, memaksimalkan laba setelah pajak secara global, dan meminimalkan risiko bisnis. Sejatinya, transfer pricing merupakan hal yang lazim dilakukan oleh perusahaan multinasional. Namun, dalam perkembangannya, transfer pricing sering kali diartikan sebagai praktik penghindaran pajak.

Melalui skema transfer pricing, perusahaan multinasional dianggap berupaya untuk mengurangi beban pajak dengan melakukan penggeseran laba perusahaan dari negara dengan tarif pajak yang tinggi ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah. Pada akhirnya, praktik transfer pricing dapat merugikan suatu negara karena adanya penggerusan basis penerimaan pajak di negara tersebut.

Berdasar pada kondisi di atas, isu transfer pricing mencakup bagaimana upaya perusahaan multinasional dalam menetapkan harga transfer secara internal. Apabila terjadi suatu penyimpangan atas nilai kompensasi yang berhak diterima oleh suatu entitas dalam perusahaan multinasional maka dapat dikatakan terjadi suatu manipulasi transfer pricing.

Understanding Transfer Pricing and Transfer Pricing Manipulation

Kembali pada perspektif yang netral, transfer pricing tidak dimaksudkan sebagai kendaraan dalam melakukan penghindaran pajak. Oleh karenanya, transfer pricing dalam perspektif yang netral harus dipisahkan dari konsep manipulasi transfer pricing.

Berdasarkan sudut pandang perusahaan multinasional, transfer pricing merupakan cara efisiensi perusahaan dalam proses pengalokasian sumber daya. Oleh karenanya, kebijakan transfer pricing (secara apriori) seharusnya tidak langsung dianggap sebagai upaya untuk menghindari pajak (Darussalam, et al, 2022).

Suatu kebijakan transfer pricing perlu dilihat dari konteks yang lebih menyeluruh. Dengan demikian, persoalannya bukan lagi pada apakah perusahaan multinasional diperbolehkan untuk melakukan transaksi internal. Persoalannya terletak pada bagaimana transfer pricing seharusnya dapat mengakomodir perilaku yang wajar (arm’s length) atau menggambarkan kontribusi setiap pihak dalam kelompok perusahaan multinasional dengan seolah-olah transaksi itu dilakukan di antara pihak-pihak yang independen.

Lantas, apakah setiap kebijakan transfer pricing selalu berakhir sengketa?

Sengketa Transfer Pricing: Is It Always A Dispute?

Praktik transfer pricing seringkali berpotensi menjadi sengketa di antara wajib pajak maupun otoritas pajak. Hal ini karena utamanya transfer pricing berdiri di atas prinsip kewajaran (arm’s length principle/ALP) yang tertuang dalam Pasal 9 OECD Model.

ALP mensyaratkan harga atau laba wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi memiliki hasil yang sama atau sebanding dengan transaksi yang dilakukan antarpihak independen dalam keadaan dan situasi yang sebanding. Perlu dipahami bahwa ALP menganalisis perusahaan multinasional dari perspektif sebagai entitas terpisah.

Upaya menentukan apa dan berapa yang disebut wajar inilah yang kerap menimbulkan sengketa (Septriadi, 2019). Pada praktiknya, sangat sulit menemukan pembanding yang sempurna, baik dari sisi karakteristik produk, value chain, volume, strategi bisnis, hingga geografis. Oleh karenanya, Pasal 9 OECD Model bermaksud dan bertujuan dalam membatasi penerapan kewenangan peraturan domestik terkait koreksi transfer pricing.

Batasan kewenangan yang dimaksud adalah suatu negara hanya diperbolehkan melaksanakan kewenangan domestiknya dalam mengoreksi transaksi afiliasi apabila terdapat transaksi di antara pihak afiliasi dan atas transaksi tersebut tidak sesuai dengan ALP. Dalam arti lain, otoritas pajak hanya berwenang melakukan koreksi apabila harga atau laba atas transaksi itu tidak wajar.

Mengadopsi ketentuan OECD tersebut, Indonesia kemudian memperkenalkan ALP sebagai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh). Dalam ketentuan ini, harga atau laba dari suatu transaksi afiliasi harus sesuai dengan transaksi yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa atau transaksi dengan pihak independen. 

Apabila wajib pajak tidak menerapkan PKKU maka Dirjen Pajak memiliki wewenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak dari wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa.

Lebih lanjut, sengketa juga dapat terjadi karena upaya menentukan harga atau laba yang wajar tidak bersifat mutlak (Septriadi, 2019). Artinya, penentuan harga atau laba yang dianggap wajar oleh otoritas pajak maupun wajib pajak seringkali bersifat arbitrary. Fenomena ini tentunya berdasar pada ilmu yang tidak pasti dalam analisis transfer pricing (transfer pricing is not an exact science).

Ketentuan Transfer Pricing di Indonesia

Indonesia telah memiliki ketentuan yang dapat dibilang komprehensif dalam menangkal manipulasi transfer pricing, mulai dari panduan analisis, prosedur pemeriksaan, dokumentasi, maupun penyelesaian sengketa di tingkat internasional. Namun, beberapa ketentuan sering kali menjadi persoalan dalam analisis transfer pricing dan berujung pada sengketa pajak. Dua di antaranya, seperti penentuan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dan pemilihan pembanding yang dianggap sebanding.

Penentuan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dalam ketentuan transfer pricing domestik di Indonesia dapat dilihat pada Pasal 18 ayat (4) UU PPh. Di sini, penentuan siapa yang menjadi pihak afiliasi menggunakan istilah hubungan istimewa atau special relationship.

Penentuan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa menggunakan arti de jure control dan juga de facto control, yaitu keadaan di mana adanya ketergantungan dan keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh kepemilikan atau penyertaan modal, penguasaan, atau hubungan keluarga sedarah atau semenda. Dalam hal ini, hubungan tersebut mengakibatkan pihak satu dapat mengendalikan pihak lain atau tidak berdiri bebas dalam menjalankan usaha.

Penentuan hubungan istimewa dengan menggunakan de facto control memiliki arti dan interpretasi yang sangat luas bila dibandingkan dengan de jure control. Oleh karenanya, data dan informasi berdasarkan fakta yang sebenarnya sangat diperlukan guna memberikan justifikasi yang valid atas suatu interpretasi secara de facto.

Sejak hadirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, menentukan transaksi yang diuji bahkan tidak terbatas hanya pada transaksi yang memiliki hubungan istimewa. Namun, transaksi dengan pihak-pihak independen pun apabila dipengaruhi adanya hubungan istimewa juga harus dilakukan pengujian dengan menerapkan PKKU. Ketentuan ini menjadi tantangan baru pada perkembangan ranah transfer pricing di Indonesia.

Kemudian, sengketa juga kerap kali timbul dari pemilihan perusahaan atau transaksi independen yang dianggap sebanding. Perlu dipahami bahwa analisis transfer pricing mencakup tahapan analisis kesebandingan untuk menentukan pembanding yang dianggap sebanding tersebut.

Transaksi independen disebut sebanding dengan transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa apabila memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2020. Pertama, kondisi transaksi independen sama/serupa dengan transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa yang diuji. 

Kedua, kondisi transaksi independen dengan transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa berbeda, tetapi perbedaannya tidak memengaruhi penentuan harga. Ketiga, kondisi transaksi independen dengan transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa berbeda dan memengaruhi penentuan harga, tetapi sudah dilakukan penyesuaian secara akurat sehingga menghilangkan dampak materiel perbedaan kondisi tersebut terhadap penentuan harga.

Perlu dicatat bahwa pembanding yang benar-benar sebanding sulit ditemukan sehingga penyesuaian yang akurat dibutuhkan guna meningkatkan derajat kesebandingan pembanding. Apabila tidak dapat dilakukan penyesuaian yang akurat maka pembanding tersebut tidak dapat digunakan dalam penerapan ALP perusahaan yang diuji.

Pada akhirnya, sangat diperlukan pemahaman proses bisnis perusahaan multinasional yang menyeluruh ketika melakukan analisis transfer pricing. Adanya benturan kepentingan dari masing-masing pihak dalam menguji suatu kebijakan transfer pricing juga menjadi faktor lain dari timbulnya potensi sengketa transfer pricing. Menarik pendapat yang dikemukakan oleh Pagan dan Wilkie dalam Darussalam, et al, (2022) bahwa perusahaan multinasional berorientasi global, sedangkan otoritas pajak memiliki orientasi nasional.

 

 

Daftar Pustaka

Darussalam, Danny Septriadi, dan B. Bawono Kristiaji. (2022). Transfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional (Edisi Kedua – Vol 1) (2nd ed., Vol. 1). DDTC.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan Di Bidang Pajak Penghasilan.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213 Tahun 2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaannya.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement).

Septriadi, D. (2019, Agustus 6). Memandang Jernih Sengketa Transfer Pricing. Koran Bisnis Indonesia. https://ekonomi.bisnis.com/read/20190806/259/1133346/memandang-jernih-sengketa-transfer-pricing

OECD (2017), Model Tax Convention on Income and on Capital: Condensed Version 2017, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/mtc_cond-2017-en.

OECD (2022), OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations 2022, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/0e655865-en.

DDTCNews. (2017, Mei 17). Kupas Tuntas Konsep Transfer Pricing di Kampus UI. https://news.ddtc.co.id/kupas-tuntas-konsep-transfer-pricing-di-kampus-ui-10082

DDTCNews. (2017, Februari 21). Memahami Konsep Dasar Transfer Pricing. https://news.ddtc.co.id/memahami-konsep-dasar-transfer-pricing-9394

DDTCNews. (2021, November 18). Apa itu Arm’s Length Principle? Simak Penjelasannya di Video Ini. https://news.ddtc.co.id/apa-itu-arms-length-principle-simak-penjelasannya-di-video-ini-34581

DDTCNews. (2020, Maret 30). Analisis Kesebandingan dalam ALP Transfer Pricing Sesuai PMK 22/2020. https://news.ddtc.co.id/analisis-kesebandingan-dalam-alp-transfer-pricing-sesuai-pmk-22-2020-19873

Other Related Post

Scroll to Top